Kamis, 20 Januari 2011

Tugas PR 1 IKD 1

Definisi Malpraktik
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni :
a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan
(pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263
KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya
melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed
consent.
• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang
hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah
bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan
kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.

2. Civil malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice
apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan
prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice
antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib
dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.

Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of
vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana
kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan
karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut
dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.

3. Administrative malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative
malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police
power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai
ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi
tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja,
Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan
yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum
administrasi.

Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya
dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur
adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan
menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa
yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
c. Direct Cause (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan
kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)
yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan
sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter.
Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka
pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si
penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi
pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya
sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan
lain tidak ada contributory negligence.

Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat,
antara lain:
1. Contractual liability
Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban
dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan
pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya
maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga
kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang
timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam
tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan
bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian
perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya
perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang
berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang
patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda
orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).

Tugas PR 2 IKD 1

PR METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIK :

1. Mengumpulkan data untuk mendefinisikan masalah
2. Mengidentifikasikan komponen etik:
• Informed consent: hak menolak tindakan
• Menyelamatkan kehidupan
3. Mengidentifikasikan “ethical agent” (klien, keluarga, perawat, dokter, profesi lain, ttg; (otoritas, kebenaran, teori, dan kompetensi yg ada)
4. Mengidentifikasikan alternatif pilihan, perawat: situasi, konsultasi, (komite etik), pandangan profesi lain
5. Mengaplikasikan, prinsip etik,: justice, nonmalefisience, autonomi, benefience, veracity
6. Mengambil keputusan

Rabu, 19 Januari 2011

materi IKD1

klonning
Paradoks Teknologi Kloning Manusia
by nurcha Oleh : Nurchasanah
Ilmu pengetahuan harus dicari dalam rangka pengabdian kepada Allah dan untuk mencari ridho-Nya. Mencari ilmu adalah ibadah maka ia tidak boleh dicari untuk mengadakan pengingkaran kepada-Nya atau bahkan untuk menandingi-Nya. Oleh karenanya manusia sebagai wakil Allah yang memegang amanah-Nya tidak boleh memajukan ilmu pengetahuan dengan mengorbankan alam. Melainkan sebagai penjaga alam manusia harus mempelajari alam untuk mengapresiasi ayat-ayat Allah dan bukan malah sebaliknya menjarah alam demi kesejahteraan pribadi atau golongan.
Oleh karenanya studi tentang semesta seharusnya diarahkan pada dua hasil yaitu pemahaman tentang dunia material yang diperoleh dari pemahaman dan refleksi atas realitas-realitas spiritual—walau kadang hal sebaliknya juga dapat terjadi. Maka dapat dirunut bahwa sebenarnya ada keterkaitan antara ilmu, keadilan dan kepentingan publik. Ketiga hal itu memberikan panduan bahwa ilmu pengetahuan harus dikembangkan untuk memajukan prinsip-prinsip persamaan, keadilan sosial dan nilai-nilai lain yang didukung oleh masyarakat dan kebudayaan muslim.
Seorang ilmuwan jika ia tidak merupakan orang yang paling membawa manfaat maka ia adalah yang paling membawa petaka. Sebuah statemen yang menarik dan nampaknya memang benar adanya. Jika seorang ilmuwan tidak dibekali oleh ilmu agama dan etika yang cukup maka ia akan terjebak oleh obsesi dan hawa nafsunya. Bayangkan sebuah obsesi akan hal yang mungkin dikatakan sebagai hal yang tabu namun jika ilmuwan itu bersifat dan berpikir profit oriented karena obsesinya didanai maka tentunya ilmuwan itu akan tetap bekerja dan menggali ide guna mewujudkan obsesinya tersebut.
Mengapa ? karena sejak renaissance bergulir sains adalah hal yang sangat menjanjikan dan dapat dikatakan paling banyak menghasilkan profit. Pada tahun 1995 domba Dolly berhasil dilahirkan, dan seketika kontroversi dan perdebatan mengenai kloning merebak. Bahkan kabar terakhir kloning manusia pertama telah berhasil dan bayi hasil kloning tersebut sudah lahir dan bernama Eve.
Seorang dosen biologi molekuler Universitas Diponegoro Drs Widjanarka MSi pernah menulis mengenai status biologis produk kloning. Beliau mengungkapkan bahwa status biologis domba Dolly sebenarnya tetap saja makhluk ciptaan Allah. Karena para penelitinya Ian Wilmuth dan kawan-kawan tetap saja bukan penciptanya. Hanya saja mereka secara kebetulan mampu menangkap fenomena alamiah tentang reproduksi domba secara molekuler.
Dalam hal ini mereka hanya melakukan transfer inti sel diploid ambing untuk dititipkan pada oocyt domba lain. Sampai kapanpun dapat dipastikan para peneliti itu tidak akan mampu membuat inti sel ambing yang berisi materi genetik, dan mereka juga tidak akan dapat membuat oocyt domba untuk kemudian di ganti dengan inti sel ambing lalu membiakkan dalam medium pembiak sebelum dititipkan lagi pada induk domba lain. Maka dalam hal ini jelas bahwa perkembangan embrional berjalan secara alami karena terjadi dalam rahim domba yang dititipi.
Sehingga menurut beliau status biologis domba Dolly sebenarnya tidak ada masalah karena tidak menyinggung etika dan nilai-nilai agama karena domba hanyalah binatang. Pada akhir refleksinya beliau mengungkapkan selain kita bersikap khawatir atau bahkan ada yang apriori terhadap teknologi kloning tetapi tetap saja kita harus menghargai temuan spektakuler itu. Dan ungkapnya lebih lanjut kita tunggu saja apakah para ilmuwan tega untuk melakukan “kejahatan” iptek untuk membuat duplikat manusia.
Pertanyaan itu dijawab oleh ilmuwan asal Italia Severino Antinori pada awal April 2001 dia beserta koleganya telah tega untuk melakukan “kejahatan” sains dengan merencanakan untuk melakukan percobaan pada anak manusia. Kemudian pada April 2002 dia mengaku telah sukses melakukan kloning manusia. Dan awal tahun 2003 bayi tersebut dikabarkan telah lahir seorang bayi perempuan hasil kloning yang diberi nama Eve. Namun entah kabarnya masih antah berantah karena buktinya tidak dipublikasi sebagaimana domba Dolly.
Jika apa yang diklaim oleh dr. Antinori diatas memang benar maka perkembangan teknologi kloning sudah sedemikian maju dan secara dramatis mendapat publisitas apalagi setelah munculnya domba Dolly. Tetapi apakah benar sudah sedemikian maju. Karena jangankan mengkloning manusia, kloning pada hewan saja masih memperlihatkan banyak janin yang gugur sebelum dilahirkan. Lalu jika memang hewan-hewan tersebut bisa lahir dengan selamat maka tidak sedikit diantaranya yang mati pada usia dini punya cacat lahir dan rentan terhadap penyakit. Sehingga klaim dr. Antinori atas hasil percobaanya belum dapat dijadikan jaminan akan seperti apa kemudiannya. Karena resiko potensi kerusakan emosi atau abnormalisasi tragis dan mutasi mungkin dapat terjadi.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2002 menyatakan bahwa tikus hasil kloning tenyata mengandung ratusan gen abnormal. Hasil penelitian ini menerangkan suatu kenyataan mengapa begitu banyak hewan kloning mati pada saat itu bahkan sebelum kelahirannya.
Temuan hasil penelitian ini sekaligus merekomendasikan bahwa akan sangat tidak bertanggung jawab bila kita melakukan eksperimen kloning terhadap manusia. Karena teknik kloning yang ada pada saat ini menyebabkan terjadinya mutasi genetik pada hewan kloning yang dihasilkan dan nampaknya belum ada pemecahan segera untuk masalah ini.
Hal lain yang mengganjal dalam kloning manusia ini adalah mengenai bagaimana kekerabatan manusia kloning dengan orang yang diambil dengan orang yang diambil sel somatiknya? Pembuatan manusia kloning ini jelas akan mengacaukan hubungan-hubungan kekerabatan maupun sosial dan ini dapat menjurus kearah kerusakan tatanan kemanusiaan.
Kloning manusia apapun tujuannya akan menjadi bencana dan sumber kerusakan bagi dunia. Kloning manusia akan menghilangkan garis nasab (garis keturunan) padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab.
Kloning yang bertujuan memproduksi manusia unggul dalam hal kekuatan fisik, kecerdasan, kesehatan kecantikan dan sebagainya jelas mengharuskan adanya seleksi terhadap orang-orang yang memiliki sifat-sifat tersebut tanpa mempertimbangkan apakah suami istri atau bukan, sudah menikah atau belum. Inti sel somatik yang akan di klon di ambil dari orang yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan dan sel telur akan diambil dari perempuan terpilih dan diletakkan pada rahim perempuan yang terpilih juga. Semua ini akan mengakibatkan hilangnya nasab dan bercampur aduknya nasab.
Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak sekali hukum syara` seperti hukum tentang perkawinan nasab, nafkah, waris, hak dan kewajiban antara bapak dan anak perawatan anak, hubungan kemahroman, dan lainnya.
Akan tetapi meski dengan resiko yang besar dan kecaman publik yang luar biasa, ilmuwan dari berbagai negara tetap akan terlibat dalam program eksperimen kloning manusia ini. Hal tersebut boleh jadi didorong oleh potensi yang ada dan itu dilihat sebagai satu aktivitas yang menguntungkan dan pasti akan menghasilkan banyak uang.
Teknologi reprogenetika ini lebih menjual dibanding teknologi nuklir karena ini sangat manusiawi dan dibutuhkan siapa saja dan dahsyatnya teknologi ini memiliki kemampuan untuk menata ulang pola orang tua anak, makna kehidupan bahkan mungkin juga mampu mengontrol nasib kemanusiaan itu sendiri. Dan sebenarnya industri mengerikan ini sebenarnya bukan didorong oleh siapa-siapa tapi oleh individu dan pasangan yang ingin mereproduksi diri mereka sendiri sesuai dengan citra bayangan mereka dan citra itu ditunjang oleh perkembangan iptek yang amat progresif dengan hasil-hasil yang mengejutkan dan salah satunya adalah kloning.
Kekuasaan iptek makin tak terkendali itu terjadi karena ada anggapan bahwa dunia sains dan teknologi adalah dunia eksperimen dengan segala rumusan matematis dan itu tidak berhubungan dengan iman. Selama ini dikotomi itu begitu dominan seiring dengan ditancapkannya pilar renaissance yang katanya merupakan tonggak pencerahan pemikiran dalam lembaran sejarah. Sehingga walaupun pro-kontra kloning manusia masih berlangsung, percobaan kloning masih akan berlangsung seperti sebuah pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Maka nampaknya ilmu pengetahuan hanya menjadi kendaraan manusia untuk membuat sebuah norma kehidupan sesuai keinginan pemilik dana walaupun para etikawan dan agamawan berkoar-koar bahwa kloning reproduksi bertentangan dengan maratabat manusia dan sebagainya. Karena menurut Francis Bacon de Verulam (1561-1626) ilmu pengetahuan baru dikatakan benar-benar bermanfaat bila mulai bersifat mecari untung artinya ilmu dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini. Ungkapan Bacon yang terkenal yakni knowledge is power merintis dan merumuskan arah perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan barat sejak abad ke-17.
Teknologi kloning haruslah dipakai dengan suatu tujuan yang Jelas. Jika tidak demikian teknologi ini hanya akan mempermainkan hewan atau manusia yang hasilnya sangat berlawanan dengan tujuan dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika hewan hasil kloning ternyata justru mengandung ratusan gen abnormal maka usaha untuk membuat manusia kloning kiranya bijak untuk ditinggalkan.
Jika Allah telah berfirman melalui kitabnya:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tien : 4)
dan sekali lagi Allah berfirman
“Tiada tampak olehmu sesuatu yang tidak seimbang dalam ciptaaan (Tuhan ) yang Maha Pengasih. Cobalah pandang sekali lagi adakah sesuatu yang retak? Kemudian pandanglah sekali lagi dan sekali lagi. Pandanganmu akan kembali lagi pada dirimu seperti pandangan orang hilang ingatan , letih dan lesu.”
(QS Al-Mulk 3-4).
Maka mengapa manusia sendiri harus merusaknya dengan membuat makhluk kloning yang banyak mengandung ratusan gen abnormal tersebut. Padahal manusia bukan hanya sekedar hasil penjumlahan fungsi-fungsi biologi sebagaimana lukisan tidak dapat dikurangi nilainya setara dengan jumlah cat yang digunakannya, atau puisi dengan kata-katanya. Morfologi dan psikologi hanya menggambarkan bagian luar dari manusia. Karena manusia bukan sejumlah atau beberapa materi pembangunnya. Manusia lebih seperti sebuah lukisan, sebuah masjid atau sebuah puisi. Man is more than all the essence together can say about him.
Sains mungkin dapat melukis manusia dengan baik, tetapi sains modern seringkali gagal menangkap dimensi hakiki dari realitas. Pengetahuan mengenai manusia adalah mungkin hanya jika manusia itu merupakan bagian dari dunia atau produk dunia. Namun ini tidak terjadi jika ia berbeda dari alam, manusia adalah makhluk yang didalamnya, jika dia adalah suatu kepribadian.
Kloning manusia tidak akan menuju ke arah kesempurnaan fisik dan intelektual. Dan dari sana ke arah “super-intelligence” dan “super-animal” ke arah super-man-nya Nietzche. Jika “super-animal/human” dilahirkan dari proses kloning maka bisa jadi dia akan menjadi makhluk tanpa inner-life, tanpa kemanusiaan, tanpa drama, tanpa karakter dan tanpa perasaan……….
Dikompilasi dari :
Hartiko Harry Dkk, 1995, Bioteknologi Dan Keselamatan Hayati, Konphalindo, Jakarta.
Jenie A, Umar, 2002, Aplikasi Teknologi Kloning Pada Manusia, Makalah Seminar.
Kompas, 2002, Fokus Kloning, Edisi Minggu, 11 April 2002
Sardar Ziauddin, 2000, Jihad Intelektual, Penerbit Risalah Gusti, Jakarta
Syamsudin, 2002, Pandangan Islam Tentang Aplikasi Bioteknologi, Makalah Seminar.
Widjanarka, 2000, Teknologi Kloning Dan Status Biologis Makhluk Hidup, Niche Edisi 06/V/2000, Majalah Ilmiah Biologi Universitas Diponegoro, Semarang.
Yahya Harun, 2001, Keruntuhan Teori Evolusi, Penerbit Dzikra, Bandung.



Diposkan oleh spirit of life di 19.05 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: tugas
EUTHANASIA
Euthanasia dan Kematian Bermartabat: Suatu tinjauan Bioetika
Membunuh bisa dilakukan secara legal. Itulah euthanasia, pembuhuhan legal yang sampai kini masih jadi kontroversi. Pembunuhan legal ini pun ada beragam jenisnya.
Secara umum, kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi.
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
• Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian.
• Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).
• Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.
• Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.
Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif:
• Euthanasia aktif menjabarkan kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di Britania Raya dan Indonesia.
• Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.
Ada kasus ketika meningkatkan dosis pengurang rasa sakit, seperti pemberian Morfin, dapat memperpendek umur pasien. Namun pemberian morfin tidak dimaksukan untuk menimbulkan kematian, sehingga dipandang secara moral berbeda. Kasus ini juga dapat dilihat dari perspektif falsafah ‘efek ganda’. Prinsip ini berasal dari filsafat moral Immanuel Kant, yang juga dipopulerkan oleh Gereja Katholik. Falsafah ‘efek ganda’ menekankan bahwa suatu efek tindakan tidak akan bisa diterima secara moral ketika ia terjadi secara sengaja, namun tindakan itu akan diterima jika tidak disengaja.
Argumen Pro Euthanasia
Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacad, berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan. Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus, perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka.
Mereka yang mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya. Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral.
Falsafah Utilitarian Singer menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
Oposisi terhadap Euthanasia
Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan. Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi, maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan, diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.
Disadur dari:
Diposkan oleh spirit of life di 18.56 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: tugas
Senin, 10 Januari 2011
Transpaltasi organ
Bocah 15 tahun dapatkan jantung robotik
Oleh Alex Pangestu | Selasa, 5 Oktober 2010 | kesehatan


Para dokter di Rome's Bambino Gesu Children's Hospital berhasil menanamkan jantung robotik ke seorang anak laki-laki berumur 15 tahun lewat operasi yang berlangsung selama 8 jam, Sabtu lalu.Dalam sebuah pernyataan, rumah sakit menyebutkan kalau operasi ini merupakan operasi penanaman pertama untuk pasien anak-anak. "Biasanya operasi ini dilakukan pada pasien dewasa," jelas rumah sakit.

Jantung robotik itu ditanamkan permanen di dalam tubuh. Biasanya jantung robotik hanya ditanamkan sementara kepada pasien yang sedang menanti transpaltasi organ donor. Tapi, karena anak laki-laki itu menderita Duchenne muscular dystrophy (DMD), penyakit yang menyebabkan kerusakan otot, jantung itu ditanamkan permanen.

Jantung robotik ditenagai oleh baterai yang ada di ikat pinggang yang harus selalu dikenakan oleh si anak laki-laki. Baterai tersebut diisi ulang setiap malam agar dapat menopang tenaga bagi jantung buatan tersebut. Berkat jantung ini, si anak laki-laki mungkin bisa hidup 20 hingga 25 tahun lagi.

Saat ini, kondisi si bocah masih diawasi dengan ketat. Setelah jantung dengan lebar 4 cm dan berat 400 gram itu ditanam, rumah sakit berusaha untuk meminimalkan kemungkinan risiko terjadinya infeksi. "Infeksi merupakan penyebab utama kegagalan di seluruh dunia," jelas rumah sakit.

Keberhasilan operasi ini memberikan harapan bagi orang penderita penyakit jantung yang tidak mungkin menerima donasi karena alasan klinik, demikian dinyatakan oleh rumah sakit.
Diposkan oleh spirit of life di 21.24 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: tugas
Terapi ilmiah konvensional vs terapi tidak ilmiah dan coba-coba
terapi ilmiah konvensional Vs terapi tidak ilmiah dan coba-coba
terapi ilmiah konvensional Vs terapi tidak ilmiah damn coba-coba
n Di Papua, sebagian masyarakat melakukan tindakan mengatasi nyeri dengan daun-daunan yang sifatnya gatal. Mereka percaya bahwa pada daun tersebut terdapat ”miang” yang dapat melekat dan menghilangkan rasa nyeri bila di pukul-pukulkan di bagian tubuh yang sakit.
KODE ETIK KEPERAWATAN INDONESIA
n Tanggung jawab perawat terhadap imdividu, keluarga, dan masyarakat.
n Tanggug jawab perawat terhadap tugas
n Tanggungjawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain.
n Tanggungjawab perawat terhadap profesi keperawatan.
UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN
April 1, 2010
ramlannarie keperawatan Leave a comment
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 1996
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tenaga Kesehatan.
Mengingat : Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan;
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat;
Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
BAB II
JENIS TENAGA KESEHATAN
Pasal 2
Tenaga kesehatan terdiri dari:
tenaga medis;
tenaga keperawatan;
tenaga kefarmasian;
tenaga kesehatan masyarakat;
tenaga gizi;
tenaga keterapian fisik;
tenaga keteknisian medis.
Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
Diposkan oleh ingman di 23.52
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
0 komentar:
Poskan Komentar
Diposkan oleh spirit of life di 20.56 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: tugas
ABORTUS

| ARTIKEL KESEHATAN

Abortus

A. Pengertian

Abortus adalah keluarnya janin sebelum mencapai viabilitas. Dimana masa gestasi belum mencapai usia 22 minggu dan beratnya kurang dari 500gr (Derek liewollyn&Jones, 2002).
Askep Abortus


B. Klasifikasi

1. Abortus spontanea (abortus yang berlangsung tanpa tindakan)
* Abortus imminens : Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
* Abortus insipiens : Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
* Abortus inkompletus : Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus.
* Abortus kompletus : Semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.

2. Abortus provokatus (abortus yang sengaja dibuat)
* Menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya dianggap bayi belum dapat hidup diluar kandungan apabila kehamilan belum mencapai umur 28 minggu, atau berat badanbayi belum 1000 gram, walaupun terdapat kasus bahwa bayi dibawah 1000 gram dapat terus hidup.

Askep Abortus


C. Etiologi

1. Kelainan Ovum
Abortus spontan yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan,artinya makin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum.

2. Kelainan genetalia ibu
* Anomali congenital (hipoplasia uteri,uterus bikornis dan lain-lain).
* Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.
* Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah dibuahi,seperti kurangnya progesterone atau astrogen,endometritis,mioma sub mukosa.
* Uterus terlalu cepat meregang (kehamilan ganda,mola).
* Distosia uterus missal karena terdorong oleh tumor pelvis.

3. Gangguan sirkulasi plasenta
Dijumpai pada ibu yang menderita penyakit nefrisis,hipertensi,toksemia gravidarum,anomaly plasenta.

Askep Abortus


D. Patofisiologi

Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nerkrosis jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing tersebut.

Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas bentuknya (blightes ovum),janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.
Askep Abortus


F. Manifestasi Klinis

1. Terlambat haid atau amenorhe kurang dari 20 minggu.
2. Pada pemeriksaan fisik : keadaan umum tampak lemah kesadaran menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.
3. Perdarahan pervaginam mungkin disertai dengan keluarnya jaringan hasil konsepsi.
4. Rasa mulas atau kram perut, didaerah atas simfisis, sering nyeri pingang akibat kontraksi uterus.
5. Pemeriksaan ginekologi :
* Inspeksi Vulva : perdarahan pervaginam ada atau tidak jaringan hasil konsepsi, tercium bau busuk dari vulva.
* Inspekulo : perdarahan dari cavum uteri, osteum uteri terbuka atau sudah tertutup, ada atau tidak jaringan keluar dari ostium, ada atau tidak cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
* Colok vagina : porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak jaringan dalam cavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.

Askep Abortus



Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Abortus


A. Pengkajian

1. Pengkajian dasar data pasien
Tinjauan ulang catatan prenatal sampai adanya terjadi abortus.
2. Sirkulasi
Kehilangan darah selama terjadi perdarahan karena abortus.
3. Integritas Ego
Dapat menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan sampai ketakutan, marah atau menarik diri klien/ pasangan dapat memiliki pertanyaan atau salah terima peran dalam pengalaman kelahiran. Mungkin mengekpresikan ketidak mampuan untuk menghadapi suasana baru.
4. Eliminasi
Kateter urinarius mungkin terpasang : urin jernih pusat, bising usus tidak ada.
5. Makanan/ cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal.
6. Neurosensorik
Kerusakan gerakan pada sensori dibawah tindak anestesi spinal epidural.
7. Nyeri/ kenyamanan
Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber : misal nyeri penyerta, distensi kandung kemih/ abdomen, efek-efek anestesi : mulut mungkin kering.
8. Pernapasan
Bunyi paru jelas dan vesikuler.
9. Keamanan
Jalur parenteral bila digunakan resiko terkena infeksi karena pemasangan infus dan nyeri tekan.
10. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus.
11. Pemeriksaan Diagnostik
Jumlah darah lengkap, hemoglobin/ hematokrit (Hb/Ht). Mengkaji perubahan dari kadar efek kehilangan darah pada pembedahan urinalisis, kultur urine, darah vaginalm, dan lokhea : Pemeriksaan tambahan didasarkan pada kebutuhan individual.
(Doengoes, MZ, & Mary P.M., 2001).


B. Diagnosa Keperawatan

1. Devisit Volume Cairan s.d perdarahan
2. Gangguan Aktivitas s.d kelemahan, penurunan sirkulasi
3. Gangguan rasa nyaman: Nyeri s.d kerusakan jaringan intrauteri


C. Intervensi

1. Devisit Volume Cairan s.d Perdarahan

Tujuan :
Tidak terjadi devisit volume cairan, seimbang antara intake dan output baik jumlah maupun kualitas.

Intervensi :
Kaji kondisi status hemodinamika
* R : Pengeluaran cairan pervaginal sebagai akibat abortus memiliki karekteristik bervariasiUkur pengeluaran harian
R : Jumlah cairan ditentukan dari jumlah kebutuhan harian ditambah dengan jumlah cairan yang hilang pervaginal
* Berikan sejumlah cairan pengganti harian
R : Tranfusi mungkin diperlukan pada kondisi perdarahan masif
* Evaluasi status hemodinamika
R : Penilaian dapat dilakukan secara harian melalui pemeriksaan fisik

2. Gangguan Aktivitas s.d kelemahan, penurunan sirkulasi

Tujuan :
Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi

Intervensi :
* Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas
R : Mungkin klien tidak mengalami perubahan berarti, tetapi perdarahan masif perlu diwaspadai untuk menccegah kondisi klien lebih buruk
* Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi uterus/kandungan
R : Aktivitas merangsang peningkatan vaskularisasi dan pulsasi organ reproduksi
* Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari
R : Mengistiratkan klilen secara optimal
* Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan/kondisi klien
R : Mengoptimalkan kondisi klien, pada abortus imminens, istirahat mutlak sangat diperlukan
* Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas
R : Menilai kondisi umum klien

3. Gangguan rasa nyaman : Nyeri s.d Kerusakan jaringan intrauteri

Tujuan :
Klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dialami

Intervensi :
* Kaji kondisi nyeri yang dialami klien
R : Pengukuran nilai ambang nyeri dapat dilakukan dengan skala maupun dsekripsi.
* Terangkan nyeri yang diderita klien dan penyebabnya
R : Meningkatkan koping klien dalam melakukan guidance mengatasi nyeri
* Kolaborasi pemberian analgetika
R : Mengurangi onset terjadinya nyeri dapat dilakukan dengan pemberian analgetika oral maupun sistemik dalam spectrum l
Diposkan oleh spirit of life di 05.17 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: tugas
Minggu, 09 Januari 2011
kesehatan itu penting: Kasus Mallpraktek Di indonesia
kesehatan itu penting: Kasus Mallpraktek Di indonesia: "Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan k..."
Diposkan oleh spirit of life di 18.11 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Sabtu, 08 Januari 2011
Kasus Mallpraktek Di indonesia
Di dalam berbagai tulisan bahwa penggunaan istilah malpraktek (malpractice) dan kelalaian medik (medical negligence) di dalam pelayanan kesehatan sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama, padahal istilah malpraktek tidak sama dengan kelalaian medik.

Kelalaian medik dapat digolongkan sebagai malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian medik, dengan perkataan lain malpraktek mempunyai cakupan yang lebih luas daripada kelalaian medik. Perbedaan yang lebih jelas dapat terlihat dari istilah malpraktek yang selain mencakup unsur kelalaian, juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), dilakukan dengan sadar dan akibat yang terjadi merupakan tujuan dari tindakan tersebut walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Misalnya dengan sengaja melakukan pengguguran kandungan tanpa alasan (indikasi) medis yang jelas, melakukan operasi pada pasien yang sebenarnya tak perlu dioperasi, memberikan surat keterangan dokter yang isinya tidak benar. Sebaliknya, istilah kelalaian medik biasanya digunakan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja (culpa), kurang hati-hati, tak peduli/tak acuh, dan akibat yang ditimbulkannya bukanlah merupakan tujuannya, tetapi karena adanya kelalian yang terjadi di luar kehendaknya. Misalnya menelantarkan pasien dan tidak mengobatinya sebagaimana mestinya sehingga pasien meninggal.

MALPRAKTEK
Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insiniur, pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek medik.

Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan, kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika.

Menurut pasal 51 Undang-undang (UU) no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :

-memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
-merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan.
-merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
-melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
-menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau ilmu kedokteran gigi.
Kesemuanya hal-hal yang diuraikan di atas merupakan kewajiban profesi yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi menurut UU, dan dikatakan malpraktek medik jika :
-Adanya tindakan atau sikap perbuatan dokter yang bertentangan dengan etik dan moral, bertentangan/melawan hukum (onrechtmatige daad), bertentangan dengan standar profesi medik dan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan atau ilmu yang dimilikinya sudah ketinggalan zaman di dalam pelayanan kesehatan.
-Menelantarkan, lalai, kurang hati-hati dan adanya kesalahan dalam melakukan tindakan.

KELALAIAN MEDIK
Kelalaian bukanlah suatu kejahatan. Seorang dokter dikatakan lalai jika ia bertindak tak acuh, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya. Sepanjang akibat dari kelalaian medik tersebut tidak sampai menimbulkan kerugian kepada orang lain dan orang lain menerimanya maka hal ini tidak menimbulkan akibat hukum. Akan tetapi, jika kelalaian itu telah mencapai suatu tingkat tertentu sehingga tidak memperdulikan jiwa orang lain maka hal ini akan membawa akibat hukum, apalagi jika sampai merengut nyawa maka hal ini dapat digolongkan sebagai kelalaian berat (culpa lata).

Adapun yang menjadi tolak ukur dari timbulnya kelalaian dapat ditinjau dari beberapa hal:
a.Tidak melakukan kewajiban dokter yaitu tidak melakukan kewajiban profesinya untuk mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya bagi penyembuhan pasien berdasarkan standar profesinya. Menurut penjelasan pasal 7 ayat 2 UU no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa standar profesi medik adalah pendidikan profesi yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pendidikan nasional. Seorang dokter atau dokter gigi tentunya tidak dapat dipersalahkan lagi jika akibat tindakannya tidak seperti yang diharapkan atau merugikan pasien, sepanjang tindakan yang dilakukannya telah memenuhi standar profesi medik yang ada.

b.Menyimpang dari kewajiban yaitu menyimpang dari apa yang seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya.

Perlu dipahami bahwa jika seorang dokter atau dokter gigi mempunyai pendapat yang berlainan dengan dokter atau dokter gigi lain mengenai penyakit pasien belumlah berarti bahwa ia telah menyimpang, karena untuk menentukan apakah terdapat penyimpangan atau tidak harus berdasarkan fakta-fakta yang ada dalam kasus tersebut dengan bantuan pendapat ahli atau saksi ahli.

c.Adanya hubungan sebab akibat yaitu adanya hubungan langsung antara penyebab dengan kerugian yang dialami pasien sebagai akibatnya. Seringkali pasien maupun keluarganya menganggap bahwa akibat yang merugikan yang dialami pasien adalah akibat dari kesalahan ataupun kelalaian dokternya. Anggapan ini tidak selamanya benar karena harus dibuktikan dahulu adanya kelalaian dan adanya hubungan sebab akibat antara akibat yang dialami pasien dengan unsur kelalaian dokter.

PERLU DIPERHATIKAN
Hukum menginginkan agar seluruh masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya termasuk kewajiban profesinya harus dengan cara yang wajar dan menjaga agar orang lain termasuk pasiennya tidak sampai menderita kerugian yang tidak perlu. Di dalam menjalin adanya hubungan antara dokter dengan pasien di dalam pengobatannya terdapat unsur yang sangat penting yaitu kepercayaan yang diberikan oleh pasien terhadap dokter yang merawatnya bahwa dokter mempunyai ilmu ketrampilan untuk menyembuhkan penyakit pasien, dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti serta bertindak berdasarkan standar profesi medik yang ada. Kepercayaan tersebut hendaknya jangan disia-siakan, dengan menghindari melakukan malpraktek medik termasuk kelalaian medik (dr.Pirma Siburian SH, SpPD,KGer, Koordinator Bidang Hukum dan Perlindungan Anggota, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Sumatera Utara).
Contoh kasus ini saya dapatkan dari blog dr. Yusuf Alam Romadhon, seorang dokter umum di Solo, Jawa Tengah.
Kasa Tertinggal Berakibat Osteomyelitis
Mas Parjo datang ke Rumah Sakit Remen Waras karena fraktur di tulang femur. Dokter Ndang Sun Tiken SpB menangani kasus ini adalah dokter bedah satu-satunya di kota Sarwo Saras. Parjo dijadwalkan operasi, dengan melalui prosedur-prosedur rutin rumah sakit, informed concent telah ditanda tangani oleh Parjo sendiri. Parjo sangat sadar dengan apa yang ia tanda tangani. Sebelum mengoperasi Parjo pada jam 10.00, dr. Ndang Sun Tiken sudah melakukan tiga operasi elektif satu operasi cito. Malam harinya dr. Ndang Sun Tiken mengoperasi dua operasi cito. Operasi reposisi Parjo telah berhasil dengan baik, dari foto rontgen pasca operasi, pen telah menancap pada tempat yang benar, kelurusan tulang telah sesuai dengan yang diharapkan. Parjo setelah recovery dan perawatan di bangsal yang memadai akhirnya bisa dipulangkan. Belum ada seminggu, di tempat luka operasi, setiap saat selalu keluar nanah, hingga membuat pembalut luka selalu diganti.
Parjo bermaksud kontrol lagi ke Rumah Sakit Remen Waras, tetapi ia mendapati antrian begitu panjang, dan sudah menunggu mulai dari jam 8.00 hingga 11.00 dokter Ndang Sun Tiken tidak kunjung datang. Berkali-kali ia bertanya kepada perawat poliklinik, selalu saja jawabannya masih melakukan operasi. Karena tidak nyaman dengan apa yang dialaminya, serta tidak enak dengan pandangan-pandangan orang di sekitar yang tampaknya jijik melihat kondisi pahanya. Parjo dan keluarga memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit Arto Wedi yang letaknya ratusan kilometer dari rumah tinggalnya.
Masuk rumah sakit arto wedi, dengan biaya yang lebih tinggi, Parjo langsung diperiksa oleh dokter Hangabehi SpBO. FICS. Ahli ortopedi yang sudah terkenal hingga jauh di luar daerah. Oleh dokter Hangabehi, Parjo segera dilakukan prosedur rutin, roentgen ulang dan segera dijadwalkan operasi. Kembali dilakukan prosedur rutin, termasuk informed concent telah ditanda tangani dan Parjo sadar betul dengan apa yang dilakukannya. Secara umum kondisi Parjo menjelang operasi baik. Hanya dari luka operasi sebelumnya saja yang terus menerus mengalir nanah.

Akhirnya operasi debridement untuk mengatasi pus yang terus-menerus mengalir dari tulang yang didiagnosis mengalami osteomielitis dilakukan. Selama debridement dilakukan betapa mengejutkan yang dihadapi tim operasi dokter Hangabehi…. Mereka menemukan kassa tertinggal di tulang yang telah direposisi. Masih syukur tulang mau menyatu.
Keluarga pasien ingin mengetahui mengapa terjadi “bencana” demikian pada Parjo. Dengan terpaksa dokter Hangabehi SpBO FICS menjelaskan ini semua karena adanya kasa yang tertinggal di ruang antara tulang dan otot. Mendengar penjelasan itu kontan keluarga Parjo marah dan tidak terima dengan kinerja dokter Ndang Sun Tiken beserta timnya. Mereka sepakat untuk melakukan somasi dengan melayangkan surat dugaan malpraktik kepada dokter Ndang Sun Tiken beserta direktur Rumah Sakit Remen Waras lewat kuasa hukum mereka Gawe Ribut SH. Mereka menuntut ganti rugi senilai 1 miliar rupiah atas kerugian materiil dan imateriil yang dialami.
……………………………………………………..
Analisa hal yang terjadi
Yang ditimpa masalah adalah Rumah Sakit Remen Waras. Sedangkan rumah sakit Arto Wedi tidak dalam posisi bermasalah. Rumah Sakit Arto Wedi dalam posisi “penemu” kesalahan yang dilakukan oleh Rumah Sakit Remen Waras.
Dalam kasus ini diasumsikan tidak ada masalah administrasi pada dokter-dokter yang berpraktik baik di Rumah Sakit Remen Waras maupun Rumah Sakit Arto Wedi.
Jadi tidak ada kasus perbuatan melanggar hukum. Permasalahannya adalah operasi yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken terdapat bukti kelalaian yaitu kasa tertinggal di ruang antara otot dan tulang. Berdasarkan criteria 4 D jelas memenuhi criteria tersebut. Ada wan prestasi (D1 & D2 ; duty dan dereliction of duty) yang dilakukan oleh dokter Ndang Sun Tiken SpB; sudah ada kontrak hubungan terapetik dan ada bukti melalaikan kewajiban yaitu kasa tertinggal.. Juga terdapat “damage” yaitu adanya osteomielitis dan akibat osteomielitis ini berkaitan dengan tertinggalnya kasa yang berada di ruang antara otot dan tulang.
Skenario penyelesaian masalah etikolegalnya
Pembuktian
- Pembuktian yang dilakukan yaitu laporan operasi dokter Hangabehi SpBO yang menyebutkan kasa tertinggal
- Pembuktian laporan operasi dari dokter Ndang Sun Tiken SpB
Bukti yang meringankan
- Dokter Ndang Sun Tiken SpB, sudah mengajukan penambahan dokter bedah di Kabupaten Sarwo Saras karena dia merasa sudah overload secara tertulis kepada direktur. Dan direktur RS juga menindak lanjutinya dengan pengajuan penambahan dokter bedah ke Departemen Kesehatan pusat dua tahun yang lalu, dan hingga kasus Parjo muncul ke permukaan belum terpenuhi permintaan tersebut.
________________________________________

Diposkan oleh spirit of life di 19.52 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz
Label: tugas
Posting Lama Beranda
Langgan: Entri (Atom)
Pengikut

Arsip Blog
• ▼ 2011 (11)
o ▼ Januari (11)
 klonning
 EUTHANASIA
 Transpaltasi organ
 Terapi ilmiah konvensional vs terapi tidak ilmiah ...
 ABORTUS
 kesehatan itu penting: Kasus Mallpraktek Di indone...
 Kasus Mallpraktek Di indonesia
 UU NO 29/2004
 UU NO 29/2004
 PERKEMBANGAN PENDIDIKAN KEPERAWATAN DI INDONESIA
 Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia

Mengenai Saya

spirit of life
Saya tidak ingin hanya menjalani hidup tapi ingin berkembang dengan kehidupan
Lihat profil lengkapku


Templ

Senin, 10 Januari 2011

MASALAH ETIKA MORAL DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

MASALAH ETIKA MORAL DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

Contoh
Kuantitas versus kualitas hidup
Contoh: Seorang ibu meminta perawat untuk melepas semua selang yg diapsang pada anaknya yg telah koma delapan hari. Keadaan seperti ini, perawat menghadapi masalah
posisinya dalam menentukan keputusan secara moral.

Metode Argumentasi atau Metode Sokratik

Menggunakan pendekatan dengan mengajukan pertanyaan atau mencari jawaban dengan alasan yang tepat.Metode ini digunakan untuk memahami fenomena etika

Jumat, 07 Januari 2011

REALITAS KEPERAWATAN DALAM PERKEMBANGAN GLOBAL

Peran Perawat (Ners) Menuju Indonesia Sehat 2010

Ada dua persepsi berbeda yang cukup menarik ketika kita mendengar ungkapan atau semboyan “Menuju Indonesia Sehat 2010”, pertama adalah jelas bahwa di tahun 2010 diharapkan mayoritas penduduk Indonesia berada pada kondisi sehat dalam konteks kesehatan pada umumnya baik lahir maupun batin, dan kedua adalah di tahun 2010 nanti Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi sebuah negara yang sehat dan kuat sehingga dapat melindungi dan mensejahterakan seluruh penduduknya dalam pemenuhan hak-hak Sipol (sipil dan politik) dan juga hak-hak Ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya), namun para perawat di Indonesia tetap dapat berperan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki walau apapun persepsinya, namun dalam tulisan ini saya akan lebih banyak membahas peran perawat dari perspektif yang pertama yaitu dalam konteks kesehatan dan ilmu keperawatan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai peran perawat menuju Indonesia yang sehat, sangat baik bila kita lebih dulu mengetahui definisi dari sehat itu sendiri. Setiap individu memiliki pengertian dan persepsi yang berbeda mengenai sehat. Pada masa lalu sebagian besar individu dan masyarakat memandang kesehatan yang baik atau kesejahteraan sebagai suatu kondisi kebalikan dari penyakit atau kondisi tidak adanya penyakit (Potter dan Perry, 1997). Namun dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan kompleksnya pemahaman tentang kesehatan dengan berbagai pendekatan, saat ini pengertian sehat mulai dipandang dengan perspektif yang semakin luas. Aspek sehat menjadi lebih luas antara lain dengan memasukkan elemen-elemen seperti rasa memiliki kekuasaan, hubungan kasih sayang, semangat hidup, jaringan dukungan sosial yang kuat, rasa berarti dalam hidup, atau tingkat kemandirian tertentu (Haber, 1994).

Neuman (1990) berpendapat bahwa “sehat dalam suatu rentang adalah tingkat sejahtera klien pada waktu tertentu, yang terdapat dalam rentang dari kondisi sejahtera yang optimal, dengan energi yang paling maksimum, sampai kondisi kematian, yang menandakan habisnya energi total.” Model ini disebut dengan model kontinum sehat sakit yang menyatakan bahwa sehat bersifat dinamis yang berubah setiap waktu sesuai dengan adaptasi individu terhadap berbagai perubahan eksternal maupun internal yang bertujuan untuk mempertahankan keadaan fisik, emosional, intelektual, perkembangan, sosial, dan spiritual. Sedangkan sakit adalah proses dimana individu mengalami kemunduran fungsi dalam satu dimensi atau lebih kehidupannya bila dibandingkan dengan keadaan individu tersebut sebelumnya. Karena sehat dan sakit memiliki kualitas yang relatif maka sebaiknya ditentukan dengan titik tertentu pada skala yang kontinum antara sehat-sakit, dan keadaan sehat atau sakit seseorang harus lebih dikaitkan dengan nilai-nilai, kepribadian, dan gaya hidup seseorang daripada diukur dengan berbagai standar yang absolut.

Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya kebutuhan pelayanan kesehatan menuntut perawat kontemporer saat ini memiliki pengetahuan dan keterampilan di berbagai bidang. Saat ini perawat memiliki peran yang lebih luas dengan penekanan pada peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, juga memandang klien secara komprehensif. Perawat kontemporer menjalankan fungsi dalam kaitannya dengan berbagai peran pemberi perawatan, pembuat keputusan klinik dan etika, pelindung dan advokat bagi klien, manajer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter dan Perry, 1997).

Sebagai pemberi perawatan, perawat membantu klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan yang lebih dari sekedar sembuh dari penyakit tertentu namun berfokus pada kebutuhan kesehatan klien secara holistik, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual, dan sosial. Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi klien, pemberian perawatan, dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan dengan menetapkan pendekatan terbaik bagi tiap klien. Penetapan ini dilakukan sendiri oleh perawat atau dapat berkolaborasi dengan keluarga klien dan dalam keadaan seperti ini perawat juga dapat bekerja sama dan berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional yang lain (Keeling dan Ramos, 1995).

Perawat juga berperan sebagai advokat atau pelindung klien, yaitu membantu untuk mempertahankan lingkungan yang aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi klien dari efek yang tidak diinginkan yang berasal dari pengobatan atau tindakan diagnostik tertentu. Peran inilah yang belum tampak di kebanyakan institusi kesehatan di Indonesia, perawat masih sebatas menerima delegasi dari profesi kesehatan yang lain tanpa mempertimbangkan akibat dari tindakan yang akan dilakukannya apakah aman atau tidak bagi kesehatan klien. Manajer kasus juga merupakan salah satu peran yang dapat dilakoni oleh perawat, di sini perawat bertugas untuk mengatur jadwal tindakan yang akan dilakukan terhadap klien oleh berbagai profesi kesehatan yang ada di suatu rumah sakit untuk meminimalisasi tindakan penyembuhan yang saling tumpang tindih dan memaksimalkan fungsi terapeutik dari semua tindakan yang akan dilaksanakan terhadap klien.

Seperti yang telah dijelaskan di paragraf sebelumnya yaitu perawat harus mengembalikan kondisi klien secara holistik baik fisik maupun sosial dan spiritual klien ke keadaan sebelum klien menderita penyakitnya. Di sinilah peran perawat sebagai rehabilitator untuk mengembalikan keadaan klien atau paling tidak seoptimal mungkin untuk mendekati keadaan seperti sebelum ia sakit dengan berbagai asuhan keperawatan seperti latihan ROM dan latihan lain yang dapat membantu klien untuk kembali ke kondisi kesehatannya seperti semula. Selain di bidang pelayanan kesehatan, perawat juga memiliki peran sebagai pendidik. Ada dua konteks pendidik disini, pertama sebagai pendidik di suatu institusi pendidikan keperawatan untuk mencetak perawat-perawat baru yang berkualitas, dan kedua adalah sebagai tenaga pendidik yang memberikan pengetahuan tentang kesehatan kepada masyarakat umum untuk menciptakan lingkungan yang sadar dan peduli akan pentingnya hidup dalam taraf kesehatan tertentu.

Keperawatan terbagi menjadi beberapa fokus bidang yaitu, keperawatan jiwa, keperawatan medikal bedah, keperawatan maternitas, keperawatan komunitas, dan keperawatan anak, setidaknya itulah yang berkembang di keperawatan Indonesia. Pembagian ini dapat kita ambil sebagai salah satu contoh yang menegaskan bahwa peran perawat sangatlah luas dan mencakup seluruh daur hidup manusia dari masa fetus (janin) hingga masa terminal (menjelang kematian). Sesuai dengan KepMenKes No.1202/MENKES/SK/VIII/2003 tentang indikator Indonesia Sehat 2010,“Pada tahun 2010 itu bangsa Indonesia diharapkan akan mencapai tingkat kesehatan tertentu yang ditandai oleh penduduknya yang (1) hidup dalam lingkungan yang sehat, (2) mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta (3) mampu menyediakan dan memanfaatkan (menjangkau) pelayanan kesehatan yang bermutu, sehingga (4) memilik derajat kesehatan yang tinggi.” Namun pada kenyataannya indikator-indikator yang menggambarkan tingkat kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia hingga sekarang di tahun 2008 masih memprihatinkan.

Indikator yang pertama menyatakan bahwa pada tahun 2010 nanti diharapkan penduduk Indonesia hidup dalam lingkungan yang sehat. Perawat dapat menciptakan lingkungan yang sehat dengan cara mempromosikan perilaku sehat seperti mencuci tangan sebelum beraktifitas, senantiasa menutup mulut ketika batuk, tidak meludah sembarangan dan kebiasaan-kebiasaan kecil lainnya. Selain itu perawat di puskesmas juga dapat secara proaktif dalam mengadakan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di wilayahnya terkait masalah kesehatan aktual yang dapat menyebar dengan cepat seperti flu burung dan demam berdarah. Diharapkan setelah dilakukan hal-hal tersebut, indikator yang kedua akan terpenuhi yaitu masyarakat memiliki perilaku sehat yang pada akhirnya membentuk lingkungan yang sehat pula.

Tahun 2010 nanti juga diharapkan penduduk Indonesia tidak lagi menemukan hambatan yang berarti dalam menjangkau pelayanan kesehatan baik itu dalam hal ekonomi atau biaya maupun yang bersifat non-ekonomi seperti jarak pelayanan kesehatan yang semakin dekat sehingga memudahkan klien yang membutuhkannya. Dalam hal ini perawat dapat menggunakan metode kunjungan ke rumah-rumah klien yang membutuhkan pelayanan kesehatan ataupun dengan menggunakan kemajuan teknologi untuk mempermudah komunikasi seperti pesawat telepon maupun video conference yang memang belum begitu berkembang di Indonesia. Selain itu, perawat juga harus menambah pengetahuannya dengan terus menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi guna meningkatkan kualitas pelayanannya. Perilaku sehat dan lingkungan yang sehat serta ditunjang dengan fasilitas kesehatan yang memadai dan kemampuan klien untuk mendapatkan pelayanan, akan membuat derajat kesehatan juga meningkat

Kondisi di Indonesia sekarang memang sangat memprihatinkan dan sesungguhnnya merupakan tantangan yang sangat besar sekaligus kesempatan bagi para perawat Indonesia untuk menampilkan eksistensinya sebagai profesi kesehatan yang senantiasa memberikan pelayanan sesuai dengan peran-peran yang telah penulis sebutkan di paragraf sebelumnya. Namun perlu diakui bahwa untuk mencapai indikator Indonesia yang sehat di tahun 2010 nanti bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, apalagi kita dihadapkan dengan beberapa masalah internal di dalam tubuh profesi perawat itu sendiri. Menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan ialah tentang standar pendidikan perawat yang sangat variatif yang menyebabkan kualitas lulusan perawat sangatlah beragam di setiap daerahnya sehingga cukup sulit untuk menetapkan standar kompetensi di tingkat nasional, adapun masalah yang sebenarnya sangat penting namun mulai mendapatkan respon negatif di dalam tubuh profesi ini adalah tentang belum tersedianya sebuah Undang-undang Keperawatan sebagai payung hukum untuk melindungi para perawat supaya seluruh asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat menjadi legal dan tidak rancu dengan tindakan dari profesi kesehatan lainnya dan pada akhirnya akan meningkatkan kredibilitas profesi perawat.

REFERENSI

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. “Visi Pembangunan Kesehatan: Indonesia Sehat 2010.” http://www.depkes.go.id/indonesiasehat.html (16 Feb. 2008)

Haber, D. (1994). Health promotion and aging. New York: Springer.

Keeling, A. W. dan Ramos, M. C. (1995). Nurs Health Care: Perspectives on Community. The role of nursing history in preparing nursing for the future, 16—30.

Neuman, B. (1990). Health as a continuum based on the Neuman systems model. Nurs Sci Q, 3–129.

Potter, P. A., dan Perry, A. G. (2005). Fundamentals of Nursing: Concept, Process, and Practice, 4/E. (Terj. Yasmin Asih, et al). Jakarta: EGC.